Seorang buta berjalan terseok-seok sembari meraba-raba dalam kegelapan yang selalu mengiringinya. Mencari sesuatu yang entah apa dan dimana. Aku memandang di kejauhan, mengamati langkah-langkah si buta yang semakin mendekat, berjalan ke arahku.
Ia tiba di dekatku kini. Aku hanya diam memandangnya tanpa suara. Namun sepertinya ia sadar ada seseorang di dekatnya, mengamatinya. Mulut si buta bergerak, mengucapkan beberapa patah kata yang kuartikan sebagai pertanyaan untuk memastikan ada manusia di hadapannya. Aku menuntunnya untuk duduk di depanku. Kini aku bisa leluasa mengamatinya dari dekat, tanpa kikuk karena aku tahu ia buta. Maka pandangan mataku ku arahkan ke seluruh sudut di dirinya. Mulut si buta komat-kamit, mengucapkan rentetan kata membentuk kalimat yang semakin sulit ku artikan. Ia tak tahu aku seorang tuli. Mulutnya berhenti bergerak. Sepertinya ia menunggu jawaban dariku. Aku berpikir, dengan cara apa aku menjelaskan padanya aku ini seorang yang tak tahu apa-apa. Bisikan, raungan, hentakan, siulan, desahan, apa perbedaan itu semua? Bagiku semua sama, tak peduli berapa frekuensi dan macam gelombang yang dihasilkan, telingaku tak mampu menerjemahkan. Dan kini aku tak bisa menggerakkan tanganku sebagai aba-aba padanya karena ia seorang buta.
Aku meraih tangannya, ia terlihat kaget dan kebingungan namun tak menghindar. Ku sentuhkan ujung jariku di telapak tangannya. Kurasa seharusnya ia lebih peka, dengan semua warna hitam yang selalu dilihatnya setiap waktu. Ia termenung, menunggu sesuatu. Ku gerakkan ujung jariku membentuk huruf, diikuti jeda, lalu huruf selanjutnya hingga membentuk kata. Ia mengangguk dan ku lanjutkan ke kata berikutnya. Sepertinya kini ia mengerti. Kata pertama yang aku sampaikan adalah “aku” dan kedua adalah “tuli”. Ia tersenyum. Entah apa arti senyumnya. Mungkin rasa bahagia menemukan manusia tak sempurna lainnya atau rasa syukur karena masih ada kelebihan di dirinya yang tak kumiliki. Kubalas dengan senyuman juga meski tak bisa dilihatnya.
Sementara itu, kulihat semakin banyak manusia berkerumun di sekeliling kami. Melemparkan pandangan-pandangan yang kukenal sebagai ekspresi keheranan, mencemooh, iba, memandang dingin, namun ada beberapa memandang takjub dan tersenyum senang. Mulut mereka seakan berlomba adu cepat bergerak-gerak ke segala arah. Ingin sekali aku tahu apa yang mereka bicarakan tentang kami. Sedang di sisiku, kulihat si buta sedang berpikir. Mungkin mencerna makna dari suara-suara di sekeliling kami. Setelah ini akan kutanyakan padanya tentang apa yang di dengarnya. Sebagai balasan, akan kuceritakan tentang raut-raut wajah yang mereka tampakkan pada kami. Tentu membutuhkan waktu yang tidak singkat. Tapi kami terbiasa untuk lebih bersabar atas semua proses di dunia ini. Ketidaksempurnaan ini mengajarkanku hal itu. Jangan banyak bicara, aku seorang tuli!