m a a f

Malam yang lalu, seorang teman sempat bercerita tentang penyesalannya akan kata maaf yang belum sempat ia ucapkan pada seseorang yang kini telah pergi ke suatu tempat. Masalahnya, teknologi komunikasi saat ini belum atau mungkin tidak menemukan terobosan guna menghubungkan dunia yang ia (dan kita semua) tempati dengan dunia kepergian sosok yang hendak dimintai maaf tersebut. Yaa,, terkadang waktu terlalu singkat untuk bisa terulur lebih panjang, terus berlalu meninggalkan rasa sesal akan punahnya berbagai kesempatan yang kita lewatkan. Tapi saya pikir, kalaupun pada hari yang lalu mata terlalu kabur untuk bisa melihat, telinga terlalu tuli untuk dapat mendengar, lidah terlalu kelu untuk berucap, ataupun hati yang terlampau angkuh untuk bertindak, hidup selalu punya kompromi untuk menerima jutaan kealfaan yang entah secara sengaja ataupun tidak sengaja telah kita lakukan. Batasnya? Mungkin sejauh kita berbelok menyimpang dari arah yang seharusnya,setinggi kita membangun tebing dusta, atau seluas kita berlayar di samudera dendam. Entahlah, ada kalanya kita memang harus bisa memaafkan diri sendiri. Dan kalaupun kata itu tidak sempat terucap, yakinilah bahwa ada yang lebih mengetahui tentang apa yang hendak kau ucap. Untuk seorang teman,

A POEM FOR THE GRIEVING

Do not stand at my grave and weep.

I am not there, I do not sleep

I am a thousand winds that blow

I am the diamond glints on snow

I am the sunlight on ripened grain,

I am the gentle autumn's rain.

When you awaken in the morning's hush

I am the swift uplifting rush

of quiet birds in circled flight

I am the stars that shine at night.

Do not stand at my grave and cry,

I am not there, I did not die..

Anonymous
0 Responses